Rss Digg Twitter Delicious Facebook Stumbleupon

Selasa, 31 Mei 2011

Sekilas Renungan

          Terkadang kita hanya bisa mengkritik, inginkan yang terbaik mengatakan takdir tidak adil, mengingat kejadian yang menurut kita merupakan  hal yang merugikan diri kita. Tetapi pernahkah kita mencoba mengingat dan menghitung berapa nikmat yang telah kita dapatkan setidaknya untuk bernafas saja dalam satu hari ? bahkan setiap masalah adalah sebuah pembelajaran yang selalu disalahartikan, sesorang dapat berdiri tegak, dapat siap menghadapi tantangan  jika ia telah terbiasa dengan permasalahan. Masalah melatih kita untuk dapat kreatif mempergunakan ide-ide yang belum tentu muncul tanpa masalah tersebut, selain itu akan muncul pengalaman yang akan menjadi guru terbaik setiap saat.
          Kata-kata seperti ini memang terkadang tidak terlalu banyak membantu ketika kita sedang dilanda masalah yang ada di benak hanyalah sebuah kepanikan yang menjadikan  kita tidak dapat berpikir, tetapi sebenarnya hanya butuh sebuah senyum keikhlasan bahwa ini adalah bentuk kasih sayang yang dillimpahkan dariNya kepada kita, tidak perlu memikirkan apa masalahnya tapi hanya perlu mencoba untuk pikirkan apa makna dibalik semua itu.
        Proses penciptaan alam semesta yang ada sudah lebih cukup untuk membuktikan kekuasaanNya. Manusia memang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimillikinya tidak terkecuali ilmu pengetahuan, ketika segala sesuatu dipertanyakan hanya untuk sekedar mencari sebuah rasionalitas untuk dapat menumbuhkan sebuah cinta yang mungkin sewaktu-waktu dapat terkikis pemahamannya, jangankan untuk bertanya, apakah kita semua  pernah berpikir apakah sebenarnya aku  ini ada atau hanya imajinasi yang tidak nyata ?  sumber dari epistemology kita hanya bergantung pada indra dan rasio, lantas apa yang perlu dipertanyakan dengan kedua alat ini yang terbatas. Indra hanya berpegangan dengan apa yang dirasa, didengar, dilihat dan sebagainya yang menjadi sumber hanya alam, rasio hanya memiliki empat fungsi.
          Apabila kita mencari dan mencintai dengan sebuah alas an  akibatnya hal itu akan hilang seiring dengan berubahnya waktu dan berkembang pemikiranku yang entah mengalami kemajuan atau kemunduran. Untuk mencintai tidak butuh alas an apapun, tidak butuh ditumbuhkan  hal itu, tidak butuh cari referensi dimanapun. Cinta adalah sesuatu yang abstrak yang dirasakan bukan suatu bahan untuk diperdebatkan. Cinta, sebuah anugerah yang tidak terkira yang diberikan kepada setiap manusia,. Cinta, bukan merupakan larangan agama, bukan merupakan larangan syariatNya tetapi cinta berasal dari hati dan hati merupakan urusanNya.
         Diriku hanya dapat duduk diam dan lusuh menyaksikan ketololanku yang tidak mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Terlalu banyak hakikat dan makna yang kulewatkan yang sebenarnya sangat menyenangkan untuk dipelajari. Banyak hal yang diajarkan baik melalui alam maupun manusia tetapi saya tidak sadarkan itu, tidak mempergunakan akalku untuk menelaah apa makna dibalik semua itu.

















Kawasan Pesisir

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Batas Wilayah Pesisir
Pertanyaan pertama yang seringkali muncul dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah bagaimana menentukan batas-batas dari suatu batas wilayah pesisir (coastal zone).  Sampai sekarang belum ada defenisi wilayah pesisir  yang baku  namun terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, sehingga wilayah pesisir memiliki  dua macam  batas yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai.         Penetapan batas-batas wilayah pesisir yang tegak lurus dengan garis pantai sejauh ini belum ada kesepakatan, sehingga batas-batas wilayah pesisir berbeda dari satu dengan negara lainnya terlebih lagi dengan adanya perbedaan karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan sendiri (Rokhmin Dahuri dkk, 2001:5).
Wilayah pesisir juga merupakan pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi wilayah daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut perembesan air asin. Ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh bagian laut yang terjadi di darat seperti sedimentasi, dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencamaran (Soegiarto dalam Rokhmin Dahuri, dkk, 2001 : 8).
Secara fisik, kawasan pesisir dapat terdiri dari daerah-daerah daratan (terrestial atau inland areas), lahan-lahan pantai (coastal waters), perairan lepas pantai (offshore waters) dan perairan di luar yurisdiksi nasional. Peran dan pengaruh manusia di tiga daerah sangat nyata terlihat. Oleh karena itu daerah-daerah tersebut biasanya merupakan fokus perhatian pengelolaan. Namun batas-batas wilayah pesisir yang ditetapkan tiap negara  berbeda-beda.
Di Indonesia ada semacam kesepakatan tentang defenisi  kawasan ini, namun belum resmi yaitu kawasan pesisir adalah wilayah daratan dan lautan yang bertemu di garis pantai. Wilayah daratan merupakan wilayah yang mencakup daerah yang tergenang atau tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh proses-proses laut, seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam. Sedangkan wilayah laut mencakup wilayah perairan yang dipengaruhi oleh proses-proses alami daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut dan perairan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia  di darat. Dengan demikian jarak batas-batas dan laut dari garis pantai suatu kawasan pesisir di Indonesia dapat berbeda-beda tergantung kekuatan pengaruh masing-masing faktor darat dan laut.

Tipologi Pengembangan Kawasan Pesisir Pantai

Penanganan kawasan pantai dilakukan dengan mempertimbangkan tipologi pantai. Pembagian tipe pantai kawasan perencanaan didasarkan pada klasifikasi tipologi pantai yang disusun oleh PSDAL UNHAS dengan Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Pedesaan Departemen Pekerjaan Umum, Tahun 1997, secara garis besar dapat diklasifikasikan kedalam 5 (lima) jenis, yaitu :
a.    Tipe A, pantai berupa teluk dan tanjung  yang panjang dan beberapa pulau terletak di mulut teluk, kemiringan dasar yang curam (>0,1) dan terbentuk dari kerikil, daratan pantai yang berbukit, tinggi ombak datang di bawah 1 meter, kecepatan arus di bawah 1 meter/detik tipe pasang surut adalah setengah harian, priode ulang kejadiaan badai di atas 1 tahun.
Pantai tipe A sangat potensial dikembangkan menjadi kawasan perdagangan, jasa pelayanan, pergudangan, pelabuhan, industri, permukiman dan resort/pariwisata.
b.    Tipe B, pantai berupa teluk tanpa pulau terletak di mulut teluk, kemiringan dasar yang landai (0,01
Pantai tipe B cukup potensial dikembangkan menjadi kawasan perdagangan dan prasarana penunjang pantai tipe A, namun perlu dilakukan rekayasa khusus untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap pusat kota misalnya pembuatan dermaga, reklamasi pantai dan sebagainya.
c.    Tipe C, pantai berupa laguna, kemiringan dasar yang datar (s<0,01) dan terbentuk dari lumpur, memiliki lingkungan rawa pantai, tinggi ombak datang di bawah 1 meter, kecepatan arus di bawah 0,5m/detik, tipe pasang surut adalah setengah harian, periode ulang kejadiaan badai di atas 15 tahun.
Pantai tipe C tidak potensial untuk kegiatan binaan penduduk, perlu rekayasa khusus melalui penguatan dan peningkatan khusus untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap pusat kawasan kota misalnya pembuatan dermaga, reklamasi pantai dan sebagainya.
d.    Tipe D, pantai terbuka, kemiringan dasar yang landai (0,01<1) dan terbentuk dari pasir, memiliki lingkungan muara, tinggi ombak datang diantara 1<2 meter, kecepatan arus diantara 0,5 dan 1 m/detik, tipe pasag surut campuran, periode, kejadiaan ulang badai 5 sampai 15 tahun.
Pantai Tipe D pada umumnya dimanfaatkan untuk budidaya air payau, hutan rawa, pengambangan ecoturisme, penikmatan penjelajahan hutan pantai dan melihat flora dan fauna langka serta permukiman.
e.    Tipe E, pantai terbuka kemiringan dasar yang curam (s<0,1) dan terbetuk dari kerikil memiliki lingkungan muara, tinggi ombak datang di atas 2 meter, kecepatan arus di atas 1 m/detik, tipe pasang surut harian, periode kejadiaan ulang badai di antara 5-15 tahun
Tipe E, umumnya dimanfaatkan untuk pelabuhan dengan rekayasa break water yang lebih panjang untuk membuat kolam pelabuhan yang lebih luas, pengembangan ecoturisme, memancing dan permukiman.

Kecerdasan Kontekstual


          Kecerdasan, kadang diartikan secara parsial dimana pada sebagian besar sekolah yang ada di negeri ini menganggap bahwa kecerdasan diukur dari seseorang dapat menguasai mata pelajaran/ mata kuliah yang diajarkan di sekolah. Kecerdasan merupakan sesuatu hal yang sangat kontekstual, setiap orang memiliki tingkatan kecerdasan berdasarkan bidangnya masing-masing, mungkin inilah yang semakin menguatkan bahwa tidak ada manusia yang bodoh yang ada hannyalah orang yang malas untuk berusaha dalam menambah pengetahuannya.
          Sewaktu sekolah saya pernah berpikir bahwa dengan menghafal dan mendapatkan nilai yang terbaik itu sudah dapat dikatakan pintar dan cerdas tetapi sebenarnya apa yang selama ini diterapkan justru menjadikan kita seperti berada dalam sebuah belenggu penjara yang tidak tampak dimana kita hanya berpikir sesuai dengan yang diharapkan dimana adanya pemarsialan terhadap sesuatu yang terkadang menjadikan kita sebagai seseorang yang tidak lebih dari seorang robot.
          Sebuah fakta telah terbukti diberbagai macam sekolah yang mengganggap bahwa seorang yang memiliki nilai akademik yang baik merupakan sesorang yang cerdas jika dibandingkan dengan orang yang memiliki bakat pada bidang olahraga dan music. Tidak ada yang dapat disalahkan dalam hal ini karena memang unsure kebiasaan itu telah tertanam sejak dulu.