Trias Politika berasal dari bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat; Politika=kekuasaan). Konsep Trias Politica merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII M. Trias politica adalah sebuah bentukan pemisahan kekuasaan dalam sebuah Negara yang memisahkan kekuasaan legislative, yudikatif dan eksekutif. Tujuan dari trias politica ini sendiri bertujuan agar tidak ada pelimpahan kekuasaan terhadap orang yang sama sehingga dapat dihindari penyalahgunaan kekuasaan oleh orang yang berkuasa. Dengan terpisahnya 3 bentukan kekuasaan dalam pemerintahan, diharapkan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling koreksi, saling mengimbangi). Walaupun demikian, berdasarkan realitas yang ada, jalannya Trias Politika di tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000-1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini. Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang bertujuan melakukan pemisahan kekuasaan.
Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan. Meski pemikiran mereka saling bertolak-belakang, tetapi tinjauan ulang mereka atas relasi kekuasaan negara cukup berharga untuk diperhatikan.
mungkin kita hanya akan membahas pemikiran dari John Locke dan Montesquieu tentang trias politika.
John Locke (1632-1704)
John Locke lahir pada sebuah desa di Somerset Utara,Inggris Barat pada tanggal 29 Agustus 1632. Kelahirannya bertepatan pada saat negara Eropa dilanda perang sudara dan perang agama antara kaum protestas dengan kaum katolik. Dari insiden inilah kemudian lahir doktrin-doktrin monarki yang absolute pada system pemerintahan. Dimana, system monarki didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa kekuasaan raja bersifat ilahiah dan suci. Selain itu monarki absolute dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang sesuai dengan hokum alam dimana berakar pada tradisi otoritas paternal, copy dari kerajaan Tuhan di bumi, serta merupakan cerminan kekuasaan yang tunggal. Kemudian muncul anti tesis dari pemikiran Locke yang menentang pemikiran Sir Robert Filmer yang mempertahankan pemikirannya tentang kekuasaan absolut tersebut. Antitesisnya antara lain :
— Kitab suci tidak membenarkan kekuasaan tirani dimana terdapat pembatasan-pembatasan kekuasaan yang bersifat sekuler
— Kekuasaan penguasa bukan berasal dari Tuhan atau diwariskan turun-temurun tetapi kekuasaan merupakan produk perjanjian sosial antara warga negara dengan penguasa negara
— Kekuasaan absolut antitesis kebebasan
— Manusia dilahirkan dengan kesamaan derajat
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah "bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)" dan "memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut.
Realitas yang terjadi pada saat Locke masih hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Seringkali raja secara sewenang-wenang melakukan akusisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, tidak mengherankan kalangan bangsawan kadang melakukan perang dengan raja akibat persengketaan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi 'damai' tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris, sebagai kekuasaan eksekutif.
Dari pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
Montesquieu (1689-1755)
Montesqiueau yang mempunyai nama panjang Charles-Louis de Secondat, baron de La Brède et de Montesquieu. Lahir pada tanggal 18 January 1689 di Bordeaux dan wafat pada tanggal 10 February 1755.
Montesqueieu mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Montesquieu membedakan tiga fungsi Negara, yaitu fungsi legislative, eksekutif dan yudikatif. Tiga fungsi itu perlu dibagi atas tiga pemegang kekuasaan. Menurutnya, ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang menyelenggarakannya. Kekuasaan legislatif menurutnya adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraaan undang-undang (tetapi oleh montequieu diutamakan tindakan dibidang politik luar negeri), sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Pembagian ini, telah dimulai oleh Locke, tetapi Locke tidak mengemukakan masalah yudikatif. Menurut Locke, kekuasaan Negara dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislative, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federative, yang masing-masing terpisah satu sama lain. Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan (yudikatif) itu sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena dalam pekerjaannnya sehari-hari sebagai seorang hakim, Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut Locke sebagai kekuasaan federative, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif.
Montesquieu mengemukan alasan mengapa ia membagi ketiga kekuasaaan tersebut karena bersangkut paut dengan apa yang disebut kemerdekaan. Pembagian tersebut adalah untuk menjamin adanya kemerdekaan. Seperti yang dikatakan olehnya:
“Apabila kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, ataupun pada badan penguasa-penguasa yang sama, tidak mungkin terdapat kemerdekaan. juga, tidak akan bisa ditegakkan kemerdekaan itu bila kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan legislative dan eksekutif. Apabila kekuasaan mengadili ini digabungkan pada kekuasaan legislative, kehidupan dan kemerdekaan kaulan-negara akan dikuasai oleh pengawasan sesuka hati, oleh sebab hakim akan menjadi orang yang membuat undang-undang pula. Apabila kekuasaan mengadili digabungkan pada kekuasaan eksekutif, hakim itu akan bersikap dan bertindak dengan kekerasan dan penindasan. Akan berakhir pulalah segala-galanya apabila orang-orang yang itu juga, ataupun badan yang itu juga (apakah badan ini terdiri dari orang-orang bangsawan atau rakyat banyak) yang akan menjalankan ketiga macam kekuasaan itu”
Doktrin Montesquieu banyak mempengaruhi orang Amerika pada masa undang-undang dasarnya dirumuskan, sehingga dokumen itu dianggap yang paling banyak mencerminkan Trias Politika dalam konsep aslinya. Misalnya, presiden Amerika tidak dapat dijatuhkan oleh Congress selama masa jabatan empat tahun. Di lain pihak, Congress tidak dapat dibubarkan oleh presiden. Di Negara-negara benua Eropa seperti Jerman dan Belanda, doktrin Trias Politika memainkan peranan yang penting dan terutama telah mempengaruhi perumusan-perumusan mengenai Negara hukum klasik dari sarjana-sarjana hukum seperti Kant dan Fichte. Akan tetapi di Inggris, yang menurut Montesquieu merupakan suri tauladan dari system pemerintahan berdasarkan Tras Politika, sama sekali tidak ada pemisahan kekuasaan, malahan terlihat adanya suatu penjalinan yang erat antara badan eksekutif dan badan legislative.
Dari contoh-contoh tersebut, terlihat jelas bahwa pelaksanaan konsep Trias Politika dalam konsep aslinya, sukar sekali diselenggarakan dalam praktik. Seperti digambarkan oleh Kant dan Fichte, yang tugasnya tidak lain dari mempertahankan dan melindungi ketertiban social dan ekonomi berdasarkan asaz Laissez faire, laissed aller. Menurut Kant dan Fichte campur tangan Negara dalam perekonomian dan segi-segi lain kehidupan social tidak dibenarkan (staatsonthouding), oleh karena pemerintah hanya dianggap sebagai “penjaga malam” semata-mata. Selain itu, di Negara abad 20 dimana kehidupan ekonomi dan social menjadi kompleks serta badan eksekutif mengatur hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Trias Politika dalam arti “pemisahan kekuasaan” tidak dapat dipertahankan lagi. Dengan berkembangnya konsep mengenai Negara kesejahteraan, dimana pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat, dan menyelenggarakan perencanaan perkembangan ekonomi dan social secara menyeluruh, maka fungsi kenegegaraan sudah jauh melebihi dari tiga macam fungsi yang disebut oleh Montesquieu. Oleh karena keadaaan tersebut, maka ada kecenderungan untuk menafsirkan Trias Politika tidak lagi sebagai “pemisahan kekuasaan” tetapi sebagai “pembagian kekuasaan” yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoklah yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerja sama diantara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi.
Montesquieu mengungkapkan bahwa tiap kekuasaan yang dibagi pada tiga kekuasaan tersebut, masing-masing berjalan saling mengawasi dan menghambat dari adanya penyelewengan. Karena apabila tidak dijalankan seperti itu, maka kemerdekaan tidak dapat dijaga, yang ada akan terjadi sebuah despotism atau kekuasaan yang sewenang-wenang.
Menurut Montesquieu, yang disebut kemerdekaan bukanlah kemerdekaan yang sesuka hati yang memberikan hak pada seseorang untuk mengangkat senjata, dan oleh sebab itu, memaksakan kehendaknya dalam segala kekerasan terhadap orang lain. Tetapi menurutnya, kemerdekaan adalah hak untuk berbuat apa yang dibenarkan atau diizinkan oleh hukum. Menurut Suhelmi, hukum memiliki dua sifat, yaitu bersifat umum dan khusus. Hukum bersifat khusus artinya, dalam penerapan hukum pada suatu konteks social tertentu perlu melihat aspek-aspek seperti iklim, letak geografis, dan adat istiadat masyarakat. Tempat diberlakukannya hukum itu. Kalau tidak penerapan hukum tidak akan efektif. Meskipun terdapat kekhususan itu, adanya hukum yang bersifat universal, hukum yang dapat berlaku umum di semua masyarakat.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis bahwa "Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil.
Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara."
Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik.
Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
Constituency Work adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan.
Supervision and Critism of Government, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
Education adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.
Representation, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
Head of Government, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
Party Chief berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut. Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di Pemilu 1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara eksekutif dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi hasil suara partai dalam pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan dan untuk memilih presiden terpisah.
Commander in Chief adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.
Chief Diplomat, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.
Dispenser of Appointment merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.
Chief Legislation, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut :
Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputan penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
- Criminal Law penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional).
- Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.
- Constitution Law kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
- Administrative Law penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya. Sementara itu,
- International Law tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar