Rss Digg Twitter Delicious Facebook Stumbleupon

Selasa, 31 Mei 2011

Kawasan Pesisir

Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Batas Wilayah Pesisir
Pertanyaan pertama yang seringkali muncul dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah bagaimana menentukan batas-batas dari suatu batas wilayah pesisir (coastal zone).  Sampai sekarang belum ada defenisi wilayah pesisir  yang baku  namun terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, sehingga wilayah pesisir memiliki  dua macam  batas yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai.         Penetapan batas-batas wilayah pesisir yang tegak lurus dengan garis pantai sejauh ini belum ada kesepakatan, sehingga batas-batas wilayah pesisir berbeda dari satu dengan negara lainnya terlebih lagi dengan adanya perbedaan karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan sendiri (Rokhmin Dahuri dkk, 2001:5).
Wilayah pesisir juga merupakan pertemuan antara darat dan laut. Ke arah darat wilayah pesisir meliputi wilayah daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut perembesan air asin. Ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh bagian laut yang terjadi di darat seperti sedimentasi, dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencamaran (Soegiarto dalam Rokhmin Dahuri, dkk, 2001 : 8).
Secara fisik, kawasan pesisir dapat terdiri dari daerah-daerah daratan (terrestial atau inland areas), lahan-lahan pantai (coastal waters), perairan lepas pantai (offshore waters) dan perairan di luar yurisdiksi nasional. Peran dan pengaruh manusia di tiga daerah sangat nyata terlihat. Oleh karena itu daerah-daerah tersebut biasanya merupakan fokus perhatian pengelolaan. Namun batas-batas wilayah pesisir yang ditetapkan tiap negara  berbeda-beda.
Di Indonesia ada semacam kesepakatan tentang defenisi  kawasan ini, namun belum resmi yaitu kawasan pesisir adalah wilayah daratan dan lautan yang bertemu di garis pantai. Wilayah daratan merupakan wilayah yang mencakup daerah yang tergenang atau tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh proses-proses laut, seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam. Sedangkan wilayah laut mencakup wilayah perairan yang dipengaruhi oleh proses-proses alami daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut dan perairan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia  di darat. Dengan demikian jarak batas-batas dan laut dari garis pantai suatu kawasan pesisir di Indonesia dapat berbeda-beda tergantung kekuatan pengaruh masing-masing faktor darat dan laut.

Tipologi Pengembangan Kawasan Pesisir Pantai

Penanganan kawasan pantai dilakukan dengan mempertimbangkan tipologi pantai. Pembagian tipe pantai kawasan perencanaan didasarkan pada klasifikasi tipologi pantai yang disusun oleh PSDAL UNHAS dengan Direktorat Bina Tata Perkotaan dan Pedesaan Departemen Pekerjaan Umum, Tahun 1997, secara garis besar dapat diklasifikasikan kedalam 5 (lima) jenis, yaitu :
a.    Tipe A, pantai berupa teluk dan tanjung  yang panjang dan beberapa pulau terletak di mulut teluk, kemiringan dasar yang curam (>0,1) dan terbentuk dari kerikil, daratan pantai yang berbukit, tinggi ombak datang di bawah 1 meter, kecepatan arus di bawah 1 meter/detik tipe pasang surut adalah setengah harian, priode ulang kejadiaan badai di atas 1 tahun.
Pantai tipe A sangat potensial dikembangkan menjadi kawasan perdagangan, jasa pelayanan, pergudangan, pelabuhan, industri, permukiman dan resort/pariwisata.
b.    Tipe B, pantai berupa teluk tanpa pulau terletak di mulut teluk, kemiringan dasar yang landai (0,01
Pantai tipe B cukup potensial dikembangkan menjadi kawasan perdagangan dan prasarana penunjang pantai tipe A, namun perlu dilakukan rekayasa khusus untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap pusat kota misalnya pembuatan dermaga, reklamasi pantai dan sebagainya.
c.    Tipe C, pantai berupa laguna, kemiringan dasar yang datar (s<0,01) dan terbentuk dari lumpur, memiliki lingkungan rawa pantai, tinggi ombak datang di bawah 1 meter, kecepatan arus di bawah 0,5m/detik, tipe pasang surut adalah setengah harian, periode ulang kejadiaan badai di atas 15 tahun.
Pantai tipe C tidak potensial untuk kegiatan binaan penduduk, perlu rekayasa khusus melalui penguatan dan peningkatan khusus untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap pusat kawasan kota misalnya pembuatan dermaga, reklamasi pantai dan sebagainya.
d.    Tipe D, pantai terbuka, kemiringan dasar yang landai (0,01<1) dan terbentuk dari pasir, memiliki lingkungan muara, tinggi ombak datang diantara 1<2 meter, kecepatan arus diantara 0,5 dan 1 m/detik, tipe pasag surut campuran, periode, kejadiaan ulang badai 5 sampai 15 tahun.
Pantai Tipe D pada umumnya dimanfaatkan untuk budidaya air payau, hutan rawa, pengambangan ecoturisme, penikmatan penjelajahan hutan pantai dan melihat flora dan fauna langka serta permukiman.
e.    Tipe E, pantai terbuka kemiringan dasar yang curam (s<0,1) dan terbetuk dari kerikil memiliki lingkungan muara, tinggi ombak datang di atas 2 meter, kecepatan arus di atas 1 m/detik, tipe pasang surut harian, periode kejadiaan ulang badai di antara 5-15 tahun
Tipe E, umumnya dimanfaatkan untuk pelabuhan dengan rekayasa break water yang lebih panjang untuk membuat kolam pelabuhan yang lebih luas, pengembangan ecoturisme, memancing dan permukiman.

1 komentar: